Selasa, 18 Januari 2011

Kamis, 13 Januari 2011
Garuda Indonesia
Bisnis jasa transportasi khususnya transportasi udara, mungkin bukanlah bisnis yang cukup menguntungkan. Hal itu karena armada pesawat terbang harganya sangat mahal, mencapai ratusan milyar Rupiah per unit (sehingga beberapa maskapai lebih memilih menyewa pesawat daripada membelinya). Selain itu biaya operasional untuk bahan bakar terbilang tinggi karena harus mengikuti harga minyak dunia.

Sementara disisi lain harga tiket penerbangan dari dulu segitu-gitu aja, malah cenderung tambah murah seiring dengan semakin ketatnya persaingan karena banyaknya perusahaan maskapai. Air Asia contohnya. Hanya dengan Rp135,000 untuk kelas ekonomi, anda sudah bisa terbang dari Jakarta ke Singapura! Jarak Jakarta – Singapura adalah 903 kilometer. Itu berarti Air Asia hanya meminta ongkos Rp 150 per Km! Bandingkan dengan ongkos bus antar kota Jakarta – Bandung, yang mencapai Rp26,000 untuk kelas ekonomi. Karena jarak Jakarta – Bandung adalah 140 Km, maka perusahaan bus tersebut meminta ongkos Rp 185 per Km. Jadi siapa bilang naik pesawat lebih mahal daripada naik bus? Mungkin itu dulu, tapi sekarang udah nggak lagi.

Sebenarnya harga tiket pesawat memang seharusnya lebih mahal dari ongkos naik bus, karena harga pesawat jauh lebih mahal dari harga bus. Boeing 737 contohnya. Pesawat untuk penerbangan komersial yang paling banyak digunakan di dunia ini harganya paling murah adalah US$ 44 juta atau sekitar Rp 400 milyar per unit, dan kapasitasnya paling banyak 189 penumpang. Berarti modal maskapai pengguna pesawat ini untuk tiap penumpang adalah sekitar Rp 2.1 milyar. Sementara harga bus paling mahal Rp 1 milyar, dengan kapasitas paling sedikit 27 penumpang. Itu berarti? Yup, modalnya hanya Rp 37 juta per penumpang, jauuuh lebih rendah dibanding Rp 2.1 milyar tadi.

Karena itulah, margin keuntungan perusahaan maskapai penerbangan sangat kecil, karena modalnya sangat besar. So, gak masuk akal kalau tiket pesawat terbang bisa lebih murah dari tiket bus antar kota, tapi sayangnya itulah yang terjadi, paling tidak dalam beberapa waktu terakhir. Makanya gak heran kalau beberapa maskapai tidak sanggup bertahan dan akhirnya bangkrut. Dulu ada Adam Air, dan kemarin ada Mandala Airlines. Who’s next?

Lalu bagaimana dengan Garuda Indonesia?

Dalam banyak hal, Garuda Indonesia (GI) jelas tidak bisa disamakan dengan Air Asia ataupun para maskapai murah lainnya. GI adalah maskapai penerbangan eksklusif dengan harga tiket yang mahal. Untuk Jakarta – Singapore, harga tiketnya yang paling murah ketika artikel ini ditulis adalah US$ 111 atau Rp 1 juta. Itu berarti sekitar tujuh kali lipat lebih mahal dibanding tiket Air Asia, yang itu juga berarti harga tiket GI jauh lebih mahal dibanding ongkos bus manapun. Tapi apakah dengan demikian pendapatan GI besar dan kinerjanya bagus? Mari kita cek.

Pada prospektus ringkas yang terbit hari ini, GI menyajikan laporan keuangan (LK) periode kuartal III 2010 (9M10) sebagai LK terbarunya. Penulis kira anda akan terkejut jika membacanya, karena kinerja GI ini ternyata sama sekali tidak sepadan dengan gelarnya sebagai ‘The Largest Airline Company in Indonesia’. GI mencatat pendapatan Rp 12.7 trilyun, cukup besar karena aset GI hanya Rp 14.2 trilyun. Tapi laba usahanya ternyata minus 290 milyar, alias rugi. Meski GI masih bisa mencatat laba bersih sebesar 195 milyar, namun angka tersebut terutama diperoleh dari pendapatan kurs mata uang asing sebesar 131 milyar, dan pendapatan luar biasa sebesar 184 milyar, yang notabene bukan pendapatan yang nyata (hanya di pembukuan). Jadi pada hakekatnya, GI telah menghasilkan rugi bersih pada 9M10. Pada periode sebelumnya (9M09), GI mampu mencetak laba usaha dan laba bersih masing-masing Rp 624 dan 570 milyar. Jadi kinerja GI sepanjang sembilan bulan 2010, telah turun secara signifikan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Kalau kita lihat historisnya, kinerja GI dari sisi pendapatan terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada 2008 lalu, tapi setelah itu malah terus turun. Pada 2005, GI mencatat penjualan 12.6 trilyun. Angka itu meningkat menjadi 14.0 trilyun pada 2007, dan 19.3 trilyun pada 2008. Memasuki 2009, penjualan GI mulai turun menjadi 17.9 trilyun, dan pada 2010 ini GI kira-kira mencatat penjualan 16.9 trilyun (pendapatan 9M10 di-annual-kan), juga turun. Gara-gara kalah bersaing sama Air Asia dan lainnya?

Jika kita melihat lebih jauh lagi kebelakang, sangat mungkin kinerja GI di masa lalu tidak terlalu berbeda dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI): rugi melulu. Hal tersebut bisa dilihat dari komposisi modalnya, yang mencatat defisit sangat besar yaitu 7.2 trilyun. Padahal aset GI sendiri cuma 14.2 trilyun. Jadi GI ini memang boleh dikatakan kosong melompong, ga ada isinya. Jangankan menghasilkan laba bersih, modalnya sendiri hampir saja habis karena rugi terus (modal saham GI tercatat 9.1 trilyun. Setelah ditambah surplus revaluasi 1.2 trilyun, diperolehlah ekuitas bersih 3.1 trilyun). Disisi lain, utangnya segunung. GI mencatat total utang 11.1 tilyun, atau mencapai 77.8% dari total asetnya.

Kenapa kok GI ini dimasa lalu rugi melulu? Mungkin bukan karena margin keuntungan yang kecil, karena biar bagaimanapun harga tiket penerbangan GI jauh lebih mahal dibanding harga tiket maskapai penerbangan manapun di Indonesia. Jadi? Anda boleh bertanya kepada para pejabat negara dan daerah, yang seringkali bepergian menggunakan Garuda tanpa membeli tiket.

Meski tampaknya buruk, namun dari beberapa sisi, kinerja GI mengalami perbaikan yang konsisten dalam 5 tahun terakhir. Contohnya defisit tadi. Angka defisit 7.2 trilyun pada 9M10 tentu saja sangat buruk. Tapi ternyata angka tersebut lebih baik dari periode-periode sebelumnya. Pada 2005, GI mencatat defisit 10.3 trilyun, dan terus berkurang pada tahun-tahun setelahnya hingga 9M10. Ekuitas GI juga terus membaik. Pada 2005, GI mencatat ekuitas minus 3.4 trilyun, dan pada 9M10 sudah membaik menjadi 3.1 trilyun. Go professional? We may hope so.

Sayangnya seperti yang sudah disebutkan diatas, kinerja GI pada 9M10 ini malah turun dibanding 9M09. Jadi boleh dikatakan kalau Pemerintah kelewat pede untuk meng-IPO-kan GI secepat ini. Kinerja BUMN lainnya yang kemarin IPO yaitu Krakatau Steel (KRAS), secara historis memang gak begitu bagus. Namun kinerjanya pada 2010 meningkat cukup signifikan dibanding 2009. Sementara kinerja GI pada periode terbarunya malah turun.

Cukup soal kinerja. Lalu bagaimana dengan sahamnya?

GI akan melepas 9.4 milyar lembar saham yang setara dengan 36.5% total jumlah sahamnya, yaitu 25.7 milyar lembar. Harganya? Antara Rp 750 – 1,100 per lembar. Tarohlah kita ambil yang termurah, yaitu 750, maka GI akan mencatat market cap Rp 750 x 25.7 milyar = Rp 19.3 trilyun. Karena ekuitas GI adalah 3.1 trilyun, maka PBV GI adalah 19.3 / 3.1 = 6.1 kali. Wah, ternyata mahal ya? Apalagi GI ini neracanya banyak defisitnya. Untuk membandingkan PBV ini dengan perusahaan yang bergerak disektor yang sama mungkin agak sulit, karena perusahaan penerbangan yang terdaftar di BEI hanyalah Indonesia Air Transport (IATA), dan IATA ukurannya sangat kecil dibanding GI, jadi gak bisa dijadikan komparasi. Tapi jika kita ambil beberapa emiten bluchip dengan ukuran aset kira-kira setara GI sebagai perbandingan, rata-rata PBV mereka adalah 4 – 5 kali saja. Dan kebanyakan kinerja mereka jauh lebih bagus dibanding GI, jadi harga saham GI di 750 per lembar memang cukup mahal.

Bagaimana dengan PER-nya? Well, tampaknya juga buruk. Dengan laba bersih yang cuma 195 milyar, EPS GI hanya Rp 7.6 per saham. Berarti annualized PER-nya 750 / 7.6 x 3 / 4 = 74.1 kali. Muahhaaal! Apalagi seperti yang sudah dibahas diatas, laba bersih GI ini sedikit berbau tidak nyata, karena kalau dilihat dari laba usahanya, GI ini sebenarnya mencatat rugi.

Kalau dipikir-pikir, aneh juga ya. Kemarin waktu IPO KRAS, harga sahamnya murah banget. Eh sekarang ketika giliran GI, harganya dibikin mahal banget. Sengaja dibuat seperti itukah? Sebab secara nama besar, GI tidak berbeda jauh dengan KRAS, dimana kalau GI adalah perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia, KRAS adalah perusahaan baja terbesar di Indonesia (sama-sama menyandang gelar ‘terbesar’). Ukurannya kurang lebih juga setara. Jadi kenapa perlakuan pemerintah terhadap IPO dua BUMN ini bisa berbeda 180 derajat? Well, penulis kira setiap dari anda memiliki pendapat masing-masing mengenai hal ini.

Anyway kesimpulannya, inilah beberapa poin yang harus dipertimbangkan sebelum anda memutuskan untuk ikut membeli saham Garuda Indonesia atau tidak (anda bisa menambahkan):

Minus:

1. Bisnis jasa transportasi udara adalah bisnis dengan tingkat persaingan yang sangat ketat. Jika GI tidak segera membuat kelas ekonomi yang bisa menjangkau pangsa pasar menengah kebawah, boleh jadi para pelanggan GI akan berpindah ke Asia Air dan lainnya.
2. Selama para pejabat negara dan daerah masih hobi naik Garuda secara gratisan, maka maskapai terbesar di tanah air ini akan sulit untuk berkembang.
3. Secara historis, kinerja keuangan GI terbilang buruk, bahkan mungkin gak lebih baik dari kinerja Adam Air atau Mandala Airlines. Nilai ekuitasnya pernah minus alias defisiensi modal, karena terus menerus dihajar defisit.
4. Kinerja GI pada 2010 ternyata malah turun dibanding 2009, setelah sebelumnya pada 2005 terus membaik hingga 2008 lalu.
5. Harga sahamnya ternyata mahal!

Plus:

1. Meski bisnisnya ketat dan margin keuntungannya kecil, namun prospek jangka panjang di bisnis transportasi udara tetaplah bagus, karena sampai kapanpun orang-orang yang bepergian jarak jauh akan selalu membutuhkan jasa maskapai penerbangan, kecuali kalau dia punya pesawat pribadi. Bisnis jasa transportasi udara juga relatif aman dari krisis ekonomi. Buktinya ketika terjadi krisis global pada 2008 lalu, kinerja GI justru mencapai puncaknya.
2. Garuda Indonesia adalah perusahaan BUMN, yang kelangsungan hidupnya dijamin oleh negara. Jadi Adam Air, Mandala Airlines, dll boleh saja bangkrut. Namun GI hampir tidak mungkin bisa mengalami hal yang serupa.
3. Jumlah saham yang dilepas ke publik cukup banyak yaitu 9.4 milyar lembar, sehingga volume perdagangan saham GI di market dijamin akan sangat likuid.
4. Dengan go public ini, terdapat ekspektasi bahwa pengelolaan GI kedepannya akan lebih profesional. Sebanyak 80% dana hasil IPO akan digunakan untuk menambah armada baru. Hal ini menjanjikan peningkatan pendapatan, sehingga kinerja GI dimasa depan mungkin akan membaik kembali.
5. The next KRAS? Gain instan sekian puluh persen hanya dalam satu atau dua hari? Sebab harga 750 sekilas terkesan lebih rendah dari harga IPO KRAS (padahal justru sebaliknya), yakni Rp 850 per saham.

So, will you join the IPO? Your call!

Garuda Indonesia
Rating kinerja pada 9M10 : BB
Rating saham pada 750: BB

disalin melalui:
Teguh Hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar